Jakarta, CNBC Indonesia – Pasar keuangan Tanah Air pada perdagangan Kamis (11/1/2024) kemarin kembali beragam, di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpantau terkoreksi, sedangkan rupiah berhasil menguat, dan imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) mulai menurun.
Pasar keuangan hari ini diperkirakan akan melemah setelah inflasi Amerika Serikat (AS) kembali memanas pada Desember 2023. Selengkapnya mengenai sentimen penggerak pasar hari ini bisa dibaca pada halaman 3 artikel ini.
IHSG pada perdagangan kemarin ditutup melemah 0,1% ke posisi 7.219,964. Padahal sepanjang perdagangan kemarin IHSG bergerak di zona hijau. Meski berakhir di zona merah, tetapi IHSG masih bertahan di level psikologis 7.200.
Nilai transaksi IHSG pada kemarin mencapai sekitar Rp 9 triliun dengan melibatkan 23 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 1,3 juta kali. Sebanyak 249 saham terapresiasi, 267 saham terdepresiasi dan 252 saham stagnan.
Secara sektoral, sektor konsumer primer menjadi pemberat IHSG kemarin, yakni sebesar 0,75%. Namun, sektor transportasi dan keuangan dapat menahan koreksi IHSG masing-masing 1,29% dan 0,91%.
Investor asing terpantau kembali membukukan aksi beli bersih (net buy) sebesar Rp 675,09 miliar di pasar reguler pada perdagangan kemarin.
Sedangkan di bursa Asia-Pasifik, secara mayoritas menguat. Namun sayangnya, IHSG tidak termasuk ke dalam bursa saham yang menguat. Selain IHSG, ada FTSE KLSE Malaysia, KOSPI Korea Selatan, dan SETi Thailand.
Sementara untuk indeks Nikkei 225 Jepang menjadi bursa saham yang paling kencang penguatannya kemarin yakni mencapai 1,77%.
Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia-Pasifik pada perdagangan Kamis kemarin.
Sedangkan untuk mata uang rupiah pada perdagangan kemarin ditutup menguat di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Berdasarkan data Refinitiv, rupiah mengakhiri perdagangan kemarin di posisi Rp 15.545/US$ di pasar spot, menguat 0,13% di hadapan dolar AS.
Di Asia-Pasifik, secara mayoritas juga menguat melawan The Greenback (dolar AS). Kecuali ringgit Malaysia yang kalah melawan The Greenback kemarin.
Berikut pergerakan rupiah dan mata uang Asia pada perdagangan Kamis kemarin.
Adapun di pasar surat berharga negara (SBN), pada perdagangan kemarin harganya berbalik menguat, terlihat dari imbal hasil (yield) yang berbalik melandai.
Melansir data dari Refinitiv, imbal hasil (yield) SBN tenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara terpantau turun 8,3 basis poin (bp) menjadi 6,649%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%. Ketika yield turun, maka tandanya investor sedang memburu SBN.
Untuk IHSG, pada perdagangan kemarin sempat bertahan di zona penguatan, bahkan sejak pembukaan perdagangan sesi I kemarin. Namun saatpre-closingberlangsung, IHSG langsung berbalik arah ke zona merah. Meski begitu, koreksi IHSG di akhir perdagangan kemarin masih cenderung tipis-tipis.
Investor kemarin cenderung wait and see menanti rilis data inflasi AS periode Desember 2023 atau akhir tahun 2023. Namun, ada kekhawatiran bahwa inflasi AS pada akhir 2023 berpotensi kembali naik akibat adanya kenaikan harga minyak mentah disebabkan adanya konflik di Timur Tengah.
Kondisi Laut Merah yang semakin memanas pun berpotensi memberikan dampak negatif terhadap inflasi. Semakin lamanya transportasi logistik dan barang, maka scarcity akan berpotensi terjadi di beberapa negara dan inflasi dapat mengalami kenaikan.
Hal ini menjadi penting mengingat jika inflasi AS berada lebih rendah di bandingkan ekspektasi pasar, maka probabilitas pemangkasan suku bunga akan menjadi lebih besar. Hal ini akan menjadi kabar baik bagi pasar keuangan global dan domestik.
Selain itu, data klaim mingguan AS untuk pekan yang berakhir 6 Januari 2024 juga dinanti oleh investor, karena dapat juga menentukan arah kebijakan moneter bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) berikutnya. https://bukanlah.com/